“Stop! Jangan Bully Aku”
Maraknya kasus bullying di Indonesia sudah sampai pada tahap mengkhawatirkan dan membutuhan kerjasama seluruh pihak agar lingkaran setan ini putus. Berdasarkan situs resmi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), ada 26 ribu kasus tentang anak yang terjadi sejak 2011 hingga 2017. Sebanyak 34% dari jumlah tersebut merupakan kasus hukum seperti bullying.
Menurut Founder Yayasan Sejiwa Diena Hariyana, semua perilaku termasuk ucapan, bahasa tubuh bahkan tatapan mata yang menyakiti seseorang sudah dapat dikategorikan sebagai tindakan bullying. Bahkan jika tindakan tersebut hanya sekali dilakukan, maka hal tersebut juga sudah termasuk bullying.
“Tidak perlu sampai berulang-ulang, jika sudah menimbulkan korban (fisik maupun psikis) dapat disebut dengan bullying,” papar Diena saat ditemui di kantor Yayasan Sejiwa di Depok, Jawa Barat, pekan lalu.
Dengan bergulirnya waktu dan adanya kemajuan dunia digital masalah baru terjadi salah satunya bullying di dunia maya. Cyberbullying atau intimidasi dunia maya adalah segala bentuk kekerasan yang dialami anak atau remaja dan dilakukan teman seusia mereka melalui dunia maya atau internet.
Aksi ini tak mengenal popularitas dan usia, dapat menyerang siapa saja. Cyberbullying terjadi sejak ada media sosial. Karena ada potensi seorang anak memposting sesuatu yang tidak disukai orang lain atau menyakiti.
“Cyberbullying itu sejak ada sosmed pasti sudah ada. Karena sudah ada potensi anak itu memposting hal-hal yang tidak disukai orang lain, menyakiti. Sejak ada sosmed aku yakin sudah ada cyberbullying,” kata Ketua Yayasan Sejiwa Retno Sulistyo Wahyuni saat ditemui kumparan (9/11).
Pengalaman bully pernah dialami oleh seorang remaja perempuan, sebut saja Ria. Ketika itu, ada seseorang yang menuliskan komentar di salah satu akun sosial media sosialnya. Ria yang menolak menceritakan secara gamblang awal permasalahannya mengaku cukup kaget ketika membaca komentar tersebut. Selain begitu menyakiti hatinya, ia merasa malu karena komentar tersebut bisa dibaca banyak orang.
“Kalau di kolom komentar itu buat aku nge-down sih karena aku malu,” cerita Ria ketika dihubungi kumparan (9/11). Ria bercerita saat itu ia juga menangis, tidak mau keluar kamar kos hingga kehilangan selera makan.
“Aku nangis, tutup kamar dan ga makan. Makan cuma sekali itu juga dua hari sekali. Aku pernah seperti itu karena benar-benar sakit baca kata-kata yang tidak pantas aku terima. Itu bukan salahku, dibaca banyak orang. Kalau aku keluar (ketemu teman yang lain) aku takut dijudge nggak bener,” kenang Ria. Beruntung, saat itu Ria merasa terbantu dengan kehadiran sepupunya. “Dia yang bantuin aku waktu itu. Bantuin balesin DM juga.”
Berbeda dengan Ria, seorang gadis bernama Ribka belum lama ini juga menjadi korban cyberbullying. Ribka bercerita awal mulanya hal tersebut terjadi karena ia memposting sebuah story di Instagram yang berisi kritikan terhadap artis Hollywood. Ternyata postingan tersebut ditanggapi oleh seseorang yang meresa tidak sepaham dengan Ribka.
Menggunakan akun bodong, pembully tersebut awalnya hanya mengomentari kritikan Ribka via pesan langsung yang ada di Instagram. Awalnya Ribka mencoba meluruskan bahwa yang dia tulis hanyalah kritikan biasa dari seorang fans terhadap artis idolanya. Tidak ada maksud tertentu yang ingin Ribka tunjukkan.
Malas menanggapi hal tersebut berlarut-larut, Ribka memutuskan untuk memblokir akun pembully. “Sempat aku bales gitu kan. Tapi akhirnya lama-lama capek juga. Akhirnya aku block deh itu akun,” kisah Ribka saat ditemui kumparan (8/11). Namun keesokkan harinya, muncul akun lain yang juga melakukan hal yang sama.
“Ternyta besoknya ada lagi akun yang muncul dan nge-DM-in aku. Awalnya sama, ga suka sama postingan aku. Kita cuma bahas itu. Tapi lama-lama malah sampe bodyshaming. Dia ngatain aku gendut dan jelek,” kenang Ribka.
Ia pun mengaku sempat terpancing dengan kata-kata yang dituliskan sehingga akhirnya terjadi adu balas. Namun menurut pengakuan Ribka ada beberapa temannya yang mengingatkan Ribka untuk tidak menanggapi hal tersebut. Ia pun akhirnya memilih untuk tidak lagi meladeni pembully.
Dari dua cerita di atas, ada dua sikap berbeda yang ditunjukkan oleh para korban. Meski sama-sama merasa terganggu dengan adanya bullying, namun reaksi yang ditunjukkan Ria dan Ribka sangat berbeda.
Perubahan perilaku yang dialami oleh Ria tersebut memang kerap kali terjadi pada korban bullying. Menurut Ketua Yayasan Sejiwa, Retno Sulistyowahyuni, korban bullying akan menunjukkan perubahan perilaku seperti mudah histeris, depresi, sangat sensitif, dan penurunan nilai akademis.
“Biasanya anak yang kena cyberbullying itu jadi bolos, nggak mau ketemu orang dan terlihat tidak semangat,” ucap Retno.
Meski demikian ternyata tidak semua korban bullying akan menunjukkan reaksi buruk seperti yang dialami Ria. Menurut Advisor MELODICare FA Nurdiyanto, reaksi korban bullying didasari dari strategi coping stress yang dimiliki masing-masing individu.
“Strategi coping stress secara sederhana dapat diartikan sebagai daya lenting. Kemampuan seseorang untuk merespon masalah dalam kondisi tertekan,” ucap Nurdiyanto saat dihubungi kumparan (11/11).
Secara sederhana, coping stress dapat dilakukan dengan dua strategi yaitu internal dan eksternal. Strategi internal atau dalam istilah psikologi disebut sebagai emotional-focused coping, merupakan kekuatan yang muncul dari dalam diri. “Misalnya ketika menerima bully, seseorang akan melakukan hal-hal yang membuatnya senang atau bahagia sehingga bisa melupakan persoalannya,” kata Nurdiyanto.
Hal-hal tersebut bisa seperti membeli makanan favorit, jalan-jalan, mendengarkan musik atau melakukan hobi sehingga dapat mereduksi emosi negatif yang timbul pasca dibully. “Strategi internal ini juga ada hubungannya dengan spiritual. Misal seseorang yang dibully kemudian akan berdoa agar diberi ketenangan,” Kata Nurdiyanto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar